(tvtogel) Pemerintah lagi semangat banget dorong transisi energi lewat bahan bakar bioetanol. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, bilang, campuran 10 persen bioetanol ke BBM (alias E10) jadi langkah buat ngurangin ketergantungan impor minyak dan menuju energi yang lebih bersih.
Kedengarannya keren, kan? Tapi ternyata, di balik niat baik ini, ada kekhawatiran besar: ancaman deforestasi alias pembukaan hutan besar-besaran.
🔋 Bioetanol dan Ambisi Kurangi Impor
Menurut Bahlil, 60 persen BBM Indonesia masih impor. Artinya, sebagian besar energi kita tergantung dari luar negeri. Produksi BBM Pertamina cuma sekitar 14–15 juta ton per tahun, padahal kebutuhan nasional bisa tembus 40 juta ton. Selisihnya—sekitar 25 juta ton—ditutup lewat impor.
Nah, dengan mencampur 10 persen bioetanol, katanya Indonesia bisa hemat sekitar 4,2 juta ton minyak mentah.
“Tujuannya biar kita enggak impor banyak dan bisa hasilin energi yang lebih bersih. Anak muda sekarang kan maunya yang ramah lingkungan,” ujar Bahlil dalam acara detikSore on Location, dikutip CNBC, Selasa (7/10/2025).
Bahlil juga cuek aja soal kritik dari SPBU swasta seperti BP-AKR dan Vivo yang ogah jual bensin campur etanol. Menurutnya, negara lain juga udah lama pakai bahan bakar model begini — bahkan Thailand udah pakai E20, dan Amerika Serikat juga udah jalan.
“Kalau ada yang bilang etanol itu jelek, itu salah besar. Banyak negara lain udah pakai,” tegas Bahlil.
🌾 Dari Singkong dan Tebu, Benarkah Bioetanol “Hijau”?
Bahlil bilang bioetanol bisa dibuat dari tebu dan singkong — dua bahan yang mudah tumbuh di Indonesia. Tapi, seberapa “hijau” sih bahan bakar ini sebenarnya?
Riset dari Nur Ayu Fatimah dkk. (IPB, 2025) mencoba menjawabnya. Dalam studinya, mereka membandingkan emisi sepeda motor pakai bensin biasa versus bioetanol.
Hasilnya:
- Bioetanol menghasilkan lebih sedikit CO₂ dan tanpa emisi sulfur (SO₂) karena bioetanol memang bebas kandungan sulfur.
- Secara umum, bioetanol lebih ramah lingkungan di tahap penggunaan.
Namun, Fatimah juga mengingatkan bahwa manfaat ini belum tentu seimbang kalau dilihat dari proses produksinya — terutama kalau bahan bakunya butuh lahan baru yang luas.
🌳 Ketika Transisi Energi Bisa Picu Deforestasi
Nah, di sinilah masalahnya. Produksi bioetanol skala besar berarti butuh lahan tanam tebu dan singkong dalam jumlah masif. Dan itu bisa berarti satu hal: deforestasi.
Menurut Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia (FWI), kebijakan ini bisa memicu pembukaan hutan baru karena kebutuhan lahan pertanian bakal melonjak.
“Kebutuhan bahan bakar nabati meningkat, dan itu selalu beriringan dengan kebutuhan lahan. Kalau nggak ada lahan kosong, ya hutan yang dikorbankan,” jelas Anggi (13/10/2025).
Contohnya ada di Merauke, Papua Selatan, yang sejak era Presiden Jokowi sudah dicanangkan jadi proyek besar swasembada gula. Saat itu aja, rencana pembukaan lahannya mencapai 633 ribu hektare.
Sekarang, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, luasnya bahkan bisa melonjak jadi 3 juta hektare, dengan 1 juta hektare di antaranya untuk kebun tebu.
“Padahal lahan itu hutan alam yang penting untuk ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar,” lanjut Anggi.
🌍 Transisi Energi, tapi Emisinya Tetap Naik?
Ironinya, meski bioetanol disebut “energi bersih”, dampak deforestasi bisa bikin emisi karbon justru naik. Saat hutan ditebang, karbon yang tersimpan di pohon otomatis lepas ke udara.
FWI menghitung, pembukaan lahan untuk biomassa dan bioetanol bisa memicu deforestasi hingga ratusan ribu hektare — bahkan berpotensi mencapai 4,6 juta hektare dalam beberapa tahun ke depan.
“Di sektor energi, emisi bioetanol sering dihitung nol. Tapi sektor hutan (FOLU) justru nggak dihitung, padahal emisinya nyata karena deforestasi,” jelas Anggi.
Dengan kata lain, Indonesia memang sedang menuju energi yang lebih “hijau”, tapi kalau caranya malah menebang hutan untuk menanam tebu, bukankah itu seperti tukar satu masalah dengan masalah baru?